Pengalaman tiga hari itulah yang menjadi titik balik dirinya untuk kembali kepada Allah. Khabar tentang kekuasaanNya, telah diwartakan ke segenap penjuru bumi kepada seluruh manusia, hanya saja tidak banyak orang yang menyadarinya, “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21).
Jika seseorang memperhatikan tanda-tanda itu, dan Allah SWT telah membukakan jalan masuk untuk memahami, tentu tidaklah sulit. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kelalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kelalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yunus, 10 : 23).
Bisa jadi peristiwa yang ia alami, karena Allah hendak mengabarkan hal itu kepadanya sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Di usia kepala empatnya, seorang Gito Rollies diingatkan Allah SWT melalui sebuah peristiwa spiritual yang membuatnya bergidik ketakukan. Nyalinya ciut, gemetar badannya, kekuatan musik cadas tak mampu menyangga hatinya yang terkoyak kala tanda-tandaNya telah diterima saat dirinya fly. Kesadaran bathinnya bergolak untuk bangkit dari masa-masa kelam yang telah mengotori jiwanya.
Sang Rocker kini dalam kesadaran awal setelah puluhan tahun terlelap bersama kesuksesan, polularitas, dan kenikmatan duniawi. “Saya harus hijrah, bukan ini tujuan saya dilahirkan ke muka bumi, tetapi ada tugas lain yang harus saya lakukan sebagai bekal pertemuan dengan Sang Pemilik jiwa ini,” ujar hati itu berkata lirih.
Hatinya telah terbuahi cintaNya yang tulus dan suci sehingga sang hati sejati berkata, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf, 12 : 53).
Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.
Bahagiakah hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah. Klimaks terjadi kala ia merayakan ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.
Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab segala kerisauan.
Saat itu hari Jumat siang. Pria dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada beberapa warga desa yang banyak menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun kembali mengusik hati. Mereka dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu selalu mengusik Gito.
Sungguh pemandangan indah di hari Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan hatinya bagi pintu tobat.
Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini. “Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”
“Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban.
“Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini urekan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru. “Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”
Ketika mentari terbit, Gito langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana, ia mengutarakan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam. Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle, yang tak pantang habis.
“Saat aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.
Tobatnya Gito juga disyukuri oleh sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito. “Kata beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh. “Mengapa Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?”
Gito mengaku harus merenung lama untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan sepenuhnya membuatku.”
“Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.” Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urekan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan. “Aku sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam hidupnya.
Setelah mengalami pengalaman rohani, dirinya mulai banyak bergaul dengan kalangan ulama, mengaji, serta mempelajari Al-Qur’an dan Hadits secara mendalam. Perlahan-lahan Allah SWT tanamkan pemahaman arti hidup sebenarnya. Sang Gito Rollies merasa telah menemukan hujjah yang mendasari hidupnya. “Dulu saya suka Mick Jagger, saya bahagia kalau populer. Ibaratnya, dulu tuhan saya adalah popularibeg. Nabi saya adalah para idola saya, dan rocker-rocker luar negeri, sekarang saya begitu mencintai Nabi Muhammad SAW dan ajaran-Nya,” ujarnya.
ALLAH MAHA BESAR, demikian kira-kira satu ungkapan yang cocok dialamatkan kepada legenda musik rock Indonesia tersebut. Ketika Gito memutuskan berputar haluan 180 derajat dari dunia rocker yang hingar bingar menuju kehidupan Islami yang sarat dengan dakwah, banyak sahabat yang kaget, seolah tak percaya. Apalagi bagi sahabat yang sangat mengenal Gito, rasa-rasanya “mustahil” ia berubah seperti itu. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Gito ketika itu adalah “aneh bin ajaib”. Apalagi jika membandingkan gaya hidup dan penampilan Gito dulu yang “compang-camping” ala rocker, berubah menjadi seorang yang sangat Islami. Bahkan pakaian sehari-harinya pun bukan celana jins robek lagi, melainkan pakaian gamis lengkap dengan peci, layaknya umat Islam.