Join This Site
Pada hari ini Rabu tanggal 9 Maret 2016 jam 06.00 - 07.30 WIB terjadi fenomena langka dibeberapa kota di Indonesia salah satunya di Pontianak yaitu gerhana matahari total, dimana kejadian ini dulu pernah terjadi pada tahun1983 terulang kembali  sekitar 33 tahun lamanya.
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak diantara bumi dan matahari, walaupun bulan lebih kecil bayangan bulan mampu melindungi cahaya matahari sepenuhnya karena bulan yang berjarak rata-rata 384.400 kolometer dari bumi lebih dekat dibandingkan matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer. Jenis gerhana matahari dapat dibedakan menjadi 4 Jenis :

    1. Gerhana total, terjadi apabila saat puncak gerhana, piringan Matahari ditutup sepenuhnya oleh piringan Bulan. Saat itu, piringan Bulan sama besar atau lebih besar dari piringan Matahari. Ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan sendiri berubah-ubah tergantung pada masing-masing jarak Bumi-Bulan dan Bumi-Matahari.
    2. Gerhana sebagian, terjadi apabila piringan Bulan (saat puncak gerhana) hanya menutup sebagian dari piringan Matahari. Pada gerhana ini, selalu ada bagian dari piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan.
    3. Gerhana cincin, terjadi apabila piringan Bulan (saat puncak gerhana) hanya menutup sebagian dari piringan Matahari. Gerhana jenis ini terjadi bila ukuran piringan Bulan lebih kecil dari piringan Matahari. Sehingga ketika piringan Bulan berada di depan piringan Matahari, tidak seluruh piringan Matahari akan tertutup oleh piringan Bulan. Bagian piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan, berada di sekeliling piringan Bulan dan terlihat seperti cincin yang bercahaya. dan
    4. Gerhana hibrida, bergeser antara gerhana total dan cincin. Pada titik tertentu di permukaan bumi, gerhana ini muncul sebagai gerhana total, sedangkan pada titik-titik lain muncul sebagai gerhana cincin. Gerhana hibrida relatif jarang.


    Pada kejadian tadi pagi penulis mensikapinya dengan menjalankan sholat gerhana matahari yang dimulai dari jam 06.30 - 07.30 WIB sekitar 1 jam untuk 2 rakaat, lumayan lama dan pegel + kesemutan hihihi dan yang pasti bahagia serta bersyukur Alhamdulillah bisa beribadah yang mungkin 33 tahun lagi belum tentu bisa mengulang lagi serta bersykur shalat wajib tidak mewajibkan membaca surat panjang (susah dibayangin sob....). Islam ajaran yang sempurna menjelaskan segala hal kejadian di dunia ini termasuk salah satunya sudah ada tata cara shalatnya bisa dilihat pada gambar 1 dibawah ini dimulai dengan bertakbir, membaca doa iftitah, membaca surat Al Fatihah dan membaca surat panjang seperti Al Baqarah dan Ruku' dengan ruku' yang panjang.
    Gambar 1
    Jika dibahas menurut keyakinan penulis sebagai seorang muslim :

    PELAKSANAAN SHALAT GERHANA 


    Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah Azza wa Jalla tampakkan tersebut.
    Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
    Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah terjadinya gerhana.
    Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana.

    Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

    إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَيَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوْااللهَ وَكَبِّرُوْا وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا ...

    "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah."
    [Muttafaqun ‘alaihi]

    PENGERTIAN GERHANA

    Dalam istilah fuqaha dinamakan kusuf, yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap.
    Kalimat khusuf semakna dengan kusuf.
    Ada pula yang mengatakan kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa.
    Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.

    HUKUM SHALAT GERHANA

    Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.
    Abu ‘Awanah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari.
    Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at.
    Demikian pula Ibnu Qudamah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.
    Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Imam Asy Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân dan Syaikh Al Albâni rahimahullah.
    Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

    “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

     إِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوْا

    (jika kalian melihat, maka shalatlah -muttafaqun ‘alaih).

    Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan.
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka.
    Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya.
    Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya?
    Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
    Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat.
    Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di lading; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya.
    Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah."
    Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
    Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam Asy Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas.

    Dalil mereka:

    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَيَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوْاالله وَصَلُّوْا حَتَّى يَنْجَلِيَ .

    "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali."


    Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.
    Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
    Manakah pendapat yang kuat?
    Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan).

    Sebagaimana di dalam hadits disebutkan:

    فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ ...

    "Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya."

    Ibnu Qudamah juga berkata:
    “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri, namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik).
    Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan berjama’ah.
    Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid."

    WAKTU SHALAT GERHANA

    Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana berakhir.

    Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوْاالله وَصَلُّوْا حَتَّى يَنْجَلِيَ

    "Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang."


    KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?

    Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu:
    (1) terang seperti sedia kala, dan
    (2) gerhana terjadi takala matahari terbenam.
    Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu:
    (1) terang seperti sedia kala, dan
    (2) saat terbit matahari.


    Source : https://almanhaj.or.id/1452-pelaksanaan-shalat-gerhana.html & berbagai sumber


    0 komentar: